KONFLIK
KELAS DUA
Waaah...... kenaikan kelas, akhirnya
aku menduduki kelas dua di tingkat SMA. Banyak yang mengibaratkan masa kelas
satu adalah masa diam dan takut untuk banyak bertingkah karena masih dalam masa
penyesuaian. Kemudian kelas dua ini yang di bilang banyak menimbulkan konflik.
Nah di masa itulah statusku sekarang, untuk masa kelas tiga adalah masa
konsentrasi dalam pembelajaran karena menginjak waktu ujian kelulusan. Mereka
kelas tiga sudah tidak punya waktu lagi untuk bermain-main dan banyak tingkah.
Sedangkan kelas dua lah yang menjadi masa kebebasan, bebas untuk bertingkah dan usil pada adik kelasnya.
Marissa kelas dua tingkat C , lumayan
aku berada di tingkat tengah, tidak tinggi tidak pula rendah, karena kelas
dibagi menjadi lima tingkat A, B, C, D, dan E , aku berada ditingkat C bersama
beberapa teman yang sebelumnya sekelas, Ria, Afi, Nella, dan Tata. Hari-hari
menjadi siswi kelas dua tidak telalu buruk, meski banyak yang mengidentikkan
ini adalah masa kekuasaan, tapi bagiku sama saja, aku bertindak sebagaimana
siswi normal dan biasa saja.
Setengah semester sudah berlalu , “Rissa...!!” panggil Ria, Afi dan Tata, “apa” jawabku “kamu udah tau belum ? Nella mau ngelabrak adik kelas!” jelas Afi. “Haah...!! emang ada masalah apa Nella sama
adik kelas ?” tanyaku kaget, “itu
looh adik kelas yang namanya Fika, masak kemarin jalan bareng sama Riko !”
Afi menjelaskan. “Ooh... masalah cowok ?”
jawabku santai. Aku termasuk orang yang tidak tertarik untuk bersaing
mendapatkan perhatian cowok. Lagipula aku pikir ngapain juga kita yang
ribut-ribut, padahal si cowok belum tentu perduli pada salah satu dari kita,
atau malah si cowok emang sengaja menjadikan dirinya sebagai bahan perebutan
para cewek. “Hadeehh... Ya udah aku ke
kelas dulu deh “, pamitku. Aku gak mau ikut-ikutan masalah kayak gitu.
Sampai dikelas mendapat pemandangan
baru . Mungkin mereka sudah semakin solid karena sudah setahun lebih di sekolah
yang sama. Yaps ngerjain PR di kelas, nyontek sana-sini. Padahal namanya
pekerjaan rumah, tapi di kerjainnya di kelas. Ini memang benar-benar konflik.
Konflik pertama dimana para siswa melalaikan pekerjaan rumah. “Kriiiinggg....!!!” bel masuk berbunyi “kemana empat anak itu?” tanyaku dalam
hati, 10 menit berlalu, empat anak itu muncul, meminta izin apa masih boleh
masuk, meski kena marah tapi keempatnya masih boleh masuk. Mungkin ini konflik
kedua, berani telat masuk kelas, padahal sudah berangkat awal.
“Kriiiinggg....!!!!”
akhirnya bel istirahat, “ke kantin
yuuuk..?!!” ajak Nella, “Yuuk
..yuuk...!!!!” sahut Tata dan yang lain. “Kalian duluan aku ke toilet dulu”
pamitku karena udah kebelet pipis. Sampainya di toilet “greek...greek..greek..!!!!” suara dari salah satu toilet. Tubuhku
menghempas tembok saking kagetnya, kaki ku gak bisa gerak, tanganku gemetar,
jantungku berdebar kencang. “Emm..emm..emm!!”
terdengar suara teriakan dari dalam seolah ada seseorang yang mulutnya
dibungkam. Dengan sisa keberanian yang ada, aku mendekat kearah suara, pintu
terikat tali yang erat, sepertinya memang ada seseorang di dalam. Aku buka tali
itu dan pintu terbuka. Anak kelas satu dengan keadaan tangan diikat dan mulut
di tutup lakban. “Kejadian macam apa ini
?” gumamku dalam hati.
“Makasih
kak. Makasih banget” ucap anak itu, name take nya bertuliskan ‘Afika’ aku
kembali bergumam dalam hati “apa dia Fika
yang dimaksud Afi sama yang lain ?”. “Kok
bisa ada di sini ?” tanyaku tanpa basa-basi. “Kak Nella sama temen-temennya yang ngelakuin ini kak” penjelasannya
dengan nada marah. Aku langsung melupakan hasrat pipisku, dan pergi ke kantin
nyusulin Nella dan yang lain. Jadi ini konflik ketiga yang banyak terjadi di
sekolah-sekolah, diganggu, di usilin, dan di kerjain sama siswa-siswi lain.
Sepertinya selama aku kelas satu memang banyak waktu yang aku habiskan untuk
berdiam diri tanpa memperhatikan sekitarku.
Jam terakhir berlalu, aku sengaja tidak
membahas kejadian di toilet, sedetik setelah kejadian itu sebenarnya aku mau
minta penjelasan sama mereka tapi kembali lagi aku berpikir aku tidak mau tahu
dan tidak ingin terlibat dalam konflik itu. Sembari menunggu bus kami mengobrol
ringan dan bercanda, akhirnya bus datang, semua naik dan mendapat tempat duduk
kecuali aku yang masuk urutan akhir. Sampai halte selanjutnya aku masih
berdiri, seorang ibu-ibu naik dan dipersilahkan duduk oleh seorang siswa. Siswa
itupun berdiri disampingku. “Siswi kelas
dua ?” tanyanya padaku, aku mengangguk menjawab ucapannya. Dia mengulurkan
tangannya dan menyebutkan namanya “Fahri,
siswa kelas tiga B”, “Marissa, siswi
kelas dua C” jawabku sembari menjabat tangannya.
Ke esokan hari di sekolah ada
ribut-ribut di depan kelas. Ternyata terjadi cek cok antar siswi kelas dua B
dan E, aku menghela nafas dan berlalu melewatinya. Di sisi lain terdapat dua
siswa sok jagoan yang sedang tantang-tantangan, masalahnya adalah salah satu
siswa merasa tempat parkirnya di serobot. Pagi yang di sambut dengan keributan,
baiklah ini merupakan konflik yang amat kompleks. Sebentar lagi tiba waktu uji
kompetensi bagi siswa-siswi kelas tiga, yeeeh akan ada banyak hari libur, dan kejadian
seperti ini juga akan libur. “Marissa..!!!!”
panggil seorang siswa. “Ooh.. Fahri ada
apa ?” jawabku. Dia mengerutkan dahi “kok
gak pake embel-embel kakak ?” tanyanya heran, “em.. eh .. maaf ada apa kak Fahri ?” aku mengulangi pertanyaan ku
dengan gugup. “Begini, kebetulan kita
ketemu kemarin dan kenalan, jadi berhubung kita udah kenal, boleh gak sekiranya
kalau aku minta bantuan ?” , wahh basa-basi yang cukup panjang “bantuan apa ?” tanyaku singkat. “Pinjami aku beberapa buku pelajaran kelas
dua” jawabnya sambil tersenyum, “ooh
boleh kok, mau pinjam buku apa ? kapan ?” tanyaku sok ramah “gini aja deh aku minta kontak mu aja boleh
kan ?”, “emm boleh lah”. Setelah
kami bertukar nomor bel berbunyi.
Hubunganku dengan Fahri berlanjut
semakin akrab, sampai teman-temanku mengira kami pacaran. Tapi sampai kini
Fahri tidak pernah mengungkapkan perasaan apapun, meski begitu aku sangat suka
kepribadiannya yang selalu bersemangat dan pantang menyerah. Kecintaannya
dengan olahraga, kepedulian sosial yang tinggi, dan cita-cita yang membuat ku
semakin suka, serasa menemukan sosok pria idaman. Jujur saja hatiku berbungan
tiap ada di dekatnya, tapi entah perasaan macam apa ini.
Waktu ujian semakin dekat, Fahri sering
menghubungiku lewat sms, kami mengobrol banyak tentang olahraga. Aku suka bulu
tangkis begitu juga dengan Fahri, kadang kami main bersama di lapangan.
Beberapa waktu ini Fahri sering membicarakan tentang perguruan tinggi,
khususnya akademi polisi. Dia meminta doa agar ujiannya sukses dan bisa
mengantarkannya ke akademi kepolisian. Tentu saja aku selalu mendukungnya dan
berdoa agar keinginannya tercapai. Di tengah-tengah kesibukan teman-temanku
yang melulu mengurus masalahnya dengan adik kelas atau tentang cowok yang gak
bertanggunug jawab, aku lebih sibuk menata diri agar tidak keteteran di kelas
tiga nanti. “Rissa..!! belajar terus kan
besok libur?” tanya Tata, “iya,
walaupun besok libur, belajar kan gak Cuma buat hari esok, mending kalian tuh
belajar dari sekarang, supaya gak kaget di kelas tiga nanti, daripada bikin
konflik sama siswa-siswi lain.” Ucapanku sok menasehati.
Waktu ujian kelulusan, aku berdoa dan
memberi semangat pada Fahri. Tiap malam menemaninya belajar, sorenya ke
perpustakaan. Hari-hari liburku jadi sibuk, sembari menemaninya aku juga ikut belajar.
Berharap aku dan dia bisa lulu dengan nilai yang baik. Hari-hari berlalu dengan
cepat, tiba di hari kelulusan, aku masih libur kegiatan belajar mengajar belum
kembali normal. HP ku berdering, Fahri mengirim sms, berita gembira ia
dinyatakan lulus, aku ikut senang. Dia mengucapkan terimakasih, tapi
merahasiakan nilainya. Kegiatan sekolah kembali normal. Suasana sekolah sedikit
berbeda, karena siswa-siswi kelas tiga sudah tidak ada kegiatan di sekolah. Aku
menjalani hari-hari seperti semula sebelum adanya Fahri. Beberapa waktu
terakhir Fahri tidak menghubungiku, tidak mengirim pesan atau main ke sekolah.
“Waahh.... waktu yang singkat di kelas
dua ini bentar lagi kenaikan kelas” ucap Nella sambil menyangga dagu, “iya, sepertinya kita bakal pisah kelas sama
Rissa” sahut Afi “kok bisa?”
tanya Ria “iyalah, Rissa kan udah jadi
anak rajin yang paling rajin di banding kita, apalagi semenjak hadirnya sang
pangeran Fahri, kemungkinan Rissa bakal ada di kelas A..!” jelas Afi. Aku
hanya tersenyum dan membayangkan kelulusan nanti, apa mungkin aku juga bakal
nyusul Fahri.
Waktu ujian kenaikan kelas semakin
dekat. Saat aku belajar tiba-tiba kepikiran Fahri kemana dia sekarang dan apa
kesibukannya. Aku memberanikan diri mengirim pesan singkat dengan alasan
meminta doa untuk ujian kenaikan kelasku. HP ku berdering balasan dari Fahri “maaf ini siapa ? fahri gak pake nomor ini”.
Balasan yang cukup mengejutkan, entah berapa lama aku terkejut HP ku kembali
berdering. “Rissa .. jangan sms ke nomor
ku ya, soalnya bukan aku yang pake nomor itu”. Belum sadar sepenuhnya aku
kembali dikejutkan dengan sms dari nomor baru yang mungkin adalah Fahri. Sampai
beberapa hari aku belum lupa dengan kejadian semalam siapa yang membalas sms ku
yang ku kirim buat Fahri dan kenapa Fahri tidak mengabariku nomor barunya. Yang
jadi pikiran, aku tidak boleh sms ke nomor dia, terus aku harus sms ke mana dia
juga gak bilang itu nomor barunya, bikin aku bingung. Di sekolah ternyata
siswa-siswi kelas tiga datang ke sekolah mengambil surat kelulusan sementara,
hari ini aku mendapat jawaban atas rasa terkejutku malam itu.
Fahri berjalan di lorong sekolah,
berjalan bersama siswi kelas tiga juga mungkin keduanya mau mengambil surat
kelulusan bersama. Keduanya berjalan seirama dan sangat dekat, sesekali si cewek
tersenyum dan nampak bahagia. “kejadian
macam apalagi ini?” gumamku dalam hati. Mungkin yang ini adalah konflik
batin, aku tidak bisa melakukan apa-apa, kakiku melangkah masuk kelas. Guru
mengumumkan jadwal ujian kenaikan kelas, tidak lama lagi aku naik kelas
meninggalkan masa kelas dua yang penuh konflik. “Sepertinya aku harus fokus belajar sekarang” Nella sok mau berubah,
“wah emang si Riko udah aman?” ledek
Tata dan yang lain. “Riko ?, belum tentu
juga dia jadi masa depanku, sekarang waktunya fokus ujian kenaikan dan menatap
masa depan yang sesungguhnya, mau di genit-genit ke adik kelas atau siapapun
itu, aku gak perduli lagi” jawaban Nella sok bijak. Mendengar kata-kata
Nella, dadaku jadi sesak dia sudah move on dari masalahnya, tapi aku malah
memikirkan masalah yang semula tidak pernah aku bayangkan akan menimpa diriku.
Haruskah aku mempermasalahkannya atau tidak. Mungkin ini adalah teguran bagiku,
betapa egoisnya aku di masa lalu, menganggap semua konflik kelas dua adalah hal
yang remeh, tidak mau terlibat di dalamnya. Sekarang konflik itu menghampiriku,
dan pastinya tidak ada yang mau terlibat di dalamnya sekarang, karena harus
fokus pada hal yang lebih penting.
Sebelum masuk ruang ujian aku terdiam
dan hatiku berbisik, saat para siswa-siswi akan meninggalkan masa-masa
konfliknya menuju masa keseriusan belajar, aku disini malah merasa terserang
konflik yang tiada menentu. Kemarin aku merasa baik-baik saja tanpa ada
masalah, tapi saat menjelang pergantian kelas, aku di hampiri konflik yang
membuat dadaku sesak. Apa aku harus bersaing dengan cewek lain untuk
memperebutkan cowok yang gak bertanggung jawab itu. “Tidak, aku tidak harus melakukannya, aku juga tidak mau lagi
memikirkannya, seperti sebelum nya aku tidak mau tau dan tidak mau terlibat
dalam konflik semacam itu, biarlah aku sendiri yang mengalami konflik ini,
tanpa doa dan semangat darinya, aku pasti bisa menempuh ujian ini.” Ucapku
dalam hati untuk menghibur dan menyemangati diri, sembari melangkah masuk ruang
ujian. Aku masuk dengan ketegaran berharap saat keluar nanti aku sudah tidak
lagi berada di masa konflik kelas dua.
#Yogyakarta_23/10/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar