Wanita Penulis .4 (cerita si Tunanetra)
Hujan mengguyur kota di pagi hari, ahh.. aku sedikit
trauma dengan hujan yang orang katakan ini merupakan hujan yang syahdu, tidak
deras tidak juga kunjung reda, sedari gelap pagi tadi turun rintik-rintik bersamaan.
Jam menunjukkan pukul 10, aku ada janji dengan Ari,
yahh.. tunanetra itu bernama Ari nama yang bagus dan singkat. Aku bersiap-siap
menemuinya di tempat yang sudah di tentukan, semoga hujan cepat reda. Waah... di warung terlihat ramai pengunjung, entah
karena hujan atau memang sudah kebiasaan, Ari duduk di kursi tanpa meja.
“kenapa
duduk disini ?”
“oh..kan
sedang menunggu kakak, jadi aku di sediakan kursi khusus, hehe..”
Mataku berkedip-kedip dan tersenyum mendengar jawaban
Ari, pemiliki warung memang baik hati pada pelanggannya yang satu ini. Hujan
belum juga reda, kami belum bisa pergi kemana-mana.
“namanya
Riris, dia satu Universitas denganku, entah kapan pertama kali kita bertemu,
mungkin sesekali papasan namun tak saling sadar”
Ari mulai menceritakan gadis itu, rasa-rasanya dia
tengah curhat padaku, ahh.. aku harus merombak rencana ceritaku.
“tapi
pertama kita berkenalan, itu di hari difabel Internasional, ia menjadi relawan
di acara Lasik (layar bisik), aku ikut dalam acara itu dan bertemu dengan Riris”
“oohh .. dia
jadi relawan ? apa yang membuat kalian jadi dekat ?”
“awalnya
biasa, tanya-tanya dan ngobrol ringan, saat film diputar, Riris sangat
antusias membisikkan setiap adegan di film itu, aku sangat terhibur”
Emm..... menarik, tapi bukankah setiap relawan seperti
itu ..? bersikap baik, ramah dan perhatian pada difabel ?, aku bergumam dalam
hati. “saat acara
selesai dia mengajak pulang bareng, katanya arah tujuan kita sama, sepanjang
perjalanan kami ngobrol banyak, dari situ lah kami menjadi dekat”
Ooohhh..... bagus relawan itu memang harus dekat dengan
para difabel agar bisa lebih mengerti tentang mereka, lalu apa ? aku masih
bergumam dalam hati.
“hari itu
dia bercerita banyak tentang dirinya, selama kami dekat, ia selalu menceritakan
apapun yang ia alami, dan aku setia mendengarkan.”
Aku mulai membuka laptopku mengetik setiap apa yang aku
dengar, dan membuatnya menjadi kalimat-kalimat fantasi. Apapun ceritanya aku
bisa memodifikasinya di rumah nanti.
“hal yang
paling ia suka adalah bernyanyi, dia selalu bernyanyi dan menggerak-gerakkan
tubuhku untuk menari, aku bisa mendengar nyanyiannya, tapi tak bisa melihat ia
menari.”
Riris bercerita, sebelumnya ia tak pernah jadi relawan,
beberapa waktu terakhir adalah hari-hari buruk untuknya, ia tak punya kawan
yang benar-benar ada untuknya, berkenalan denga Ari, membuatnya senang bisa
menemukan teman baru yang selalu ada untuk dia.
Setiap pulang kuliah, Riris dan Ari jalan bersama, makan
bersama, belajar bersama, Riris nampak bahagia bisa bernyanyi dan didengar
oleh Ari, ia akan memutar tubuhnya di bawah uluran tangan Ari, seperti sedang
berdansa.
Suatu hari Riris bercerita, mengapa ia suka bersama Ari,
Riris mengaku lega apabila ia mencurahkan segalanya pada Ari namun Ari tak melihat
keadaan yang sebenarnya. Riris tak suka kawan-kawannya yang tidak perduli dengan kesedihannya. Riris tak bisa curhat pada kawan-kawannya, tapi Riris
bisa curhat tentang segalanya pada Ari, banyak yang bilang nyanyian Riris tak ada iramanya, tapi bagi Ari
nyanyian Riris sangat menghibur. Sampai pada hari dimana Ari melupakan satu hal yang
pernah Riris sampaikan
“aku ingin
mendapat seorang teman, aku ingin punya teman yang selalu ada satu sama lain,
membantu satu sama lain, mengerti satu sama lain dan saling mendukung, entah
mengapa aku menjatuhkan pilihanku padamu, yang pasti aku ingin kita berteman,
maksudku menekan kata berteman, apapun yang terjadi pada kita nanti, jangan
pernah menaruh perasaan padaku, oke .. Ari ? kita hanya akan berteman selamanya”
Pesan Riris pada Ari yang sampai pada hari itu Ari
melupakannya, entah apa yang membuatnya lupa, ia mempunyai perasaan lebih pada
Riris, bahkan sebelumnya ia tak pernah merasakannya. Sejak ungkapan perasaan Ari pada Riris, entah apa yang
terjadi pada Riris, ia hilang bak ditelan bumi, meski mereka satu kampus
sekalipun, Riris tak pernah muncul di hidup Ari, atau mungkin ia tak ingin
muncul di hadapannya. Sangat mudah untuk Riris menghindar, dan sangat sulit
bagi Ari untuk menemukannya.
Saat itulah Ari mengerti kesalahannya, Riris hanya butuh
teman, Riris hanya menginginkan seorang teman untuk selalu ada di hari-harinya. Sedangkan Ari yang tak pernah merasakan bahagia itu, terlalu jauh memupuk
perasaannya. Tapi bulan demi bulan berlalu, tak ada yang kembali
datang, tak ada kisah yang sama menghampiri, hanya Riris seorang yang menoreh
kisah bahagia itu di hidup Ari.
Ari mengatakan pada dirinya, hey.. tunanetra sadar
dirilah siapa dirimu, sejuta kelebihan yang kau miliki dan bahkan berusaha
untuk kau tunjukkan, tak akan bisa menutupi satu kekuranganmu, yang meski tak
ingin kau tunjukkan tapi semua orang tahu kekurangan itu. Mungkin tak ada masalah dengan kekurangan Ari bagi Riris
karena ia hanya menganggapnya seorang teman, tapi akan berbeda jika Riris
menganggapnya lebih, kekurangan itu tak akan mudah di terima.
“tapi apa
yang salah ..? setiap orang diciptakan berpasang-pasang, pasti ada seseorang
di luar sana yang diciptakan untukmu, meski bukan Riris, ia pasti jauh lebih
baik, beberapa kali aku putus hubungan, mungkin beberapa kali juga akan terjadi
padamu”. Aku tak terima atas sikap Riris dan berusaha menguatkan Ari.
“hehe....
tidak mau kak ahh.. putus hubungan kok berkali-kali, cukup sekali saja bagiku,
hehe...”.
#Yogyakarta/23/11/2017