Kamis, 23 November 2017

Wanita Penulis .4 (cerita si Tunanetra)



Wanita Penulis .4 (cerita si Tunanetra)



Hujan mengguyur kota di pagi hari, ahh.. aku sedikit trauma dengan hujan yang orang katakan ini merupakan hujan yang syahdu, tidak deras tidak juga kunjung reda, sedari gelap pagi tadi turun rintik-rintik bersamaan.

Jam menunjukkan pukul 10, aku ada janji dengan Ari, yahh.. tunanetra itu bernama Ari nama yang bagus dan singkat. Aku bersiap-siap menemuinya di tempat yang sudah di tentukan, semoga hujan cepat reda. Waah... di warung terlihat ramai pengunjung, entah karena hujan atau memang sudah kebiasaan, Ari duduk di kursi tanpa meja.

“kenapa duduk disini ?”

“oh..kan sedang menunggu kakak, jadi aku di sediakan kursi khusus, hehe..”

Mataku berkedip-kedip dan tersenyum mendengar jawaban Ari, pemiliki warung memang baik hati pada pelanggannya yang satu ini. Hujan belum juga reda, kami belum bisa pergi kemana-mana.

“namanya Riris, dia satu Universitas denganku, entah kapan pertama kali kita bertemu, mungkin sesekali papasan namun tak saling sadar”

Ari mulai menceritakan gadis itu, rasa-rasanya dia tengah curhat padaku, ahh.. aku harus merombak rencana ceritaku.

“tapi pertama kita berkenalan, itu di hari difabel Internasional, ia menjadi relawan di acara Lasik (layar bisik), aku ikut dalam acara itu dan bertemu dengan Riris”

“oohh .. dia jadi relawan ? apa yang membuat kalian jadi dekat ?”

“awalnya biasa, tanya-tanya dan ngobrol ringan, saat film diputar, Riris sangat antusias membisikkan setiap adegan di film itu, aku sangat terhibur”

Emm..... menarik, tapi bukankah setiap relawan seperti itu ..? bersikap baik, ramah dan perhatian pada difabel ?, aku bergumam dalam hati. “saat acara selesai dia mengajak pulang bareng, katanya arah tujuan kita sama, sepanjang perjalanan kami ngobrol banyak, dari situ lah kami menjadi dekat”

Ooohhh..... bagus relawan itu memang harus dekat dengan para difabel agar bisa lebih mengerti tentang mereka, lalu apa ? aku masih bergumam dalam hati.

“hari itu dia bercerita banyak tentang dirinya, selama kami dekat, ia selalu menceritakan apapun yang ia alami, dan aku setia mendengarkan.”

Aku mulai membuka laptopku mengetik setiap apa yang aku dengar, dan membuatnya menjadi kalimat-kalimat fantasi. Apapun ceritanya aku bisa memodifikasinya di rumah nanti.

“hal yang paling ia suka adalah bernyanyi, dia selalu bernyanyi dan menggerak-gerakkan tubuhku untuk menari, aku bisa mendengar nyanyiannya, tapi tak bisa melihat ia menari.”

Riris bercerita, sebelumnya ia tak pernah jadi relawan, beberapa waktu terakhir adalah hari-hari buruk untuknya, ia tak punya kawan yang benar-benar ada untuknya, berkenalan denga Ari, membuatnya senang bisa menemukan teman baru yang selalu ada untuk dia.

Setiap pulang kuliah, Riris dan Ari jalan bersama, makan bersama, belajar bersama, Riris nampak bahagia bisa bernyanyi dan didengar oleh Ari, ia akan memutar tubuhnya di bawah uluran tangan Ari, seperti sedang berdansa.
 
Suatu hari Riris bercerita, mengapa ia suka bersama Ari, Riris mengaku lega apabila ia mencurahkan segalanya pada Ari namun Ari tak melihat keadaan yang sebenarnya. Riris tak suka kawan-kawannya yang tidak perduli dengan kesedihannya. Riris tak bisa curhat pada kawan-kawannya, tapi Riris bisa curhat tentang segalanya pada Ari, banyak yang bilang nyanyian  Riris tak ada iramanya, tapi bagi Ari nyanyian Riris sangat menghibur. Sampai pada hari dimana Ari melupakan satu hal yang pernah Riris sampaikan

“aku ingin mendapat seorang teman, aku ingin punya teman yang selalu ada satu sama lain, membantu satu sama lain, mengerti satu sama lain dan saling mendukung, entah mengapa aku menjatuhkan pilihanku padamu, yang pasti aku ingin kita berteman, maksudku menekan kata berteman, apapun yang terjadi pada kita nanti, jangan pernah menaruh perasaan padaku, oke .. Ari ? kita hanya akan berteman selamanya”

Pesan Riris pada Ari yang sampai pada hari itu Ari melupakannya, entah apa yang membuatnya lupa, ia mempunyai perasaan lebih pada Riris, bahkan sebelumnya ia tak pernah merasakannya. Sejak ungkapan perasaan Ari pada Riris, entah apa yang terjadi pada Riris, ia hilang bak ditelan bumi, meski mereka satu kampus sekalipun, Riris tak pernah muncul di hidup Ari, atau mungkin ia tak ingin muncul di hadapannya. Sangat mudah untuk Riris menghindar, dan sangat sulit bagi Ari untuk menemukannya.

Saat itulah Ari mengerti kesalahannya, Riris hanya butuh teman, Riris hanya menginginkan seorang teman untuk selalu ada di hari-harinya. Sedangkan Ari yang tak pernah merasakan bahagia itu, terlalu jauh memupuk perasaannya. Tapi bulan demi bulan berlalu, tak ada yang kembali datang, tak ada kisah yang sama menghampiri, hanya Riris seorang yang menoreh kisah bahagia itu di hidup Ari.

Ari mengatakan pada dirinya, hey.. tunanetra sadar dirilah siapa dirimu, sejuta kelebihan yang kau miliki dan bahkan berusaha untuk kau tunjukkan, tak akan bisa menutupi satu kekuranganmu, yang meski tak ingin kau tunjukkan tapi semua orang tahu kekurangan itu. Mungkin tak ada masalah dengan kekurangan Ari bagi Riris karena ia hanya menganggapnya seorang teman, tapi akan berbeda jika Riris menganggapnya lebih, kekurangan itu tak akan mudah di terima.

“tapi apa yang salah ..? setiap orang diciptakan berpasang-pasang, pasti ada seseorang di luar sana yang diciptakan untukmu, meski bukan Riris, ia pasti jauh lebih baik, beberapa kali aku putus hubungan, mungkin beberapa kali juga akan terjadi padamu”. Aku tak terima atas sikap Riris dan berusaha menguatkan Ari. 

“hehe.... tidak mau kak ahh.. putus hubungan kok berkali-kali, cukup sekali saja bagiku, hehe...”.








#Yogyakarta/23/11/2017
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar